Rabu, 30 September 2015

surat al-zariat ayat 56

1. Lafal dan Terjemahan Q.S Az-Zariyat ayat 56


  وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُون
Artinya: ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. (Qs, Adz Dzaariyat: 56)[1


2. Arti Perkata Q.S Az-Zariyat ayat 56



3. Beberapa Penerapan Tajwid Q.S Az-Zariyat ayat 56

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy6IjghSh7rSONlf_bvsrNlrSIykuM4jMe3TuGPRHuyuajbLLf4g8EaAYGkuvTwJiedmsnNJS4SgKDCzr6LHUlkJJtjWJ9w6fGtTDNRPbPrS-c0bUErOYSDhmb7OZrDcQt1GkHupWUIAA/s640/ruang+tjwid+zariyt+56.png





4. Kandungan Ayat Q.S Az-Zariyat ayat 56

a.     Tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini harus dilakukan dngan penuh ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt.

b.   Segala sesuatu yang bernilai baik menurut pandangan Allah swt. disebut ibadah. Allah telah mengutus para Rasul-Nya, unutk mengajarkan melalui kitab-kitab yang diturunkan Allah, tentang tata cara ibadah yang baik dan benar. Ibadah artinya taat, patuh, tunduk, dan menurut . Allah swt. dan menjauhi segala larangan-Nya serta bertanggung jawab dengan tujuan penciptaan itu.

c.    Tugas utama manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Jadi, apaun yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk beribadah kepada Allah swt semata.

5. Contoh Perilaku yang Menggambarkan Q.S Az-Zariyat ayat 56

     Selalu mengingat bahwa tugas utama manusia diciptakan oleh Allah swt. adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Oleh sebab itu, semua aktifitas manusia yang dilakukan semestinya tidak dilakukan selain karena Allah swt. Semua pekkerjaan yang diniatkan karena Allah swt, akan terasa mudah dan ringan.


Rabu, 16 September 2015

SURAT AL KAUTSAR AYAT 1-3 SERTA ARTI DAN KANDUNGAN

SURAT AL- KAUTSAR AYAT 1-3 BESERTA ARTI DAN KANDUNGAN
Surat Al Kautsar nama yang diambil dari ayat pertama surat tersebut yang juga berarti karunia Allah Swt tergolong surah makkiyah yang terdiri dari 3 ayat.Semoga surah Al Kautsar ini bisa membantu anda yang sedang membutuhkan atau yang sedang menghafalkan surah al kausar.
Di dalam arti surah Al Kausar terdapat kata-kata berkorbanlah maksud dari kata ini ialah menyembelih hewan kurban dan bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah Swt.
Surat Al Kautsar
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ١
                                                                                                    
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ٢

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ ٣

Bacaan Bacaan Surat Al Kautsar dalam Bahasa Indonesia 
1. inna a'toina kalkautsar
2. fasollilirobbika wanhar
3. innasyaniaka huwal abtar 

Terjemahan Bacaan Surat Al Kautsar 
1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu sebuah sungai di surga.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.

Ayat pertama:
Apa itu Al-Kautsar? Ternyata, ada 2 penafsiran di kalangan para ulama ahli tafsir tentang makna Al-Kautsar.

1). Al-Kautsar adalah sebuah sungai yang berada di Al-Jannah (surga) yang Allah SWT persiapkan untuk Rasulullah SAW. Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan sebuah riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW sempat terkantuk hingga tertidur. Tiba-tiba Rasulullah SAW mengangkat kepalanya sambil tersenyum, kemudian para sahabat bertanya kepada beliau, ‘Kenapa engkau tersenyum wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya baru saja turun kepadaku sebuah surat.” Kemudian beliau membaca ayat pertama dari surat Al-Kautsar hingga ayat terakhir.

”Tahukah kalian apa itu Al-Kautsar?, para sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya saja-lah yang lebih tahu”. Maka Rasulullah menjawab, “Dia adalah sebuah sungai yang berada di Al-Jannah (surga) yang Allah SWT berikan kepadaku dan padanya terdapat kebaikan yang banyak.” (HR. Al-Imam Ahmad 3/102).

2). Al-Kautsar berarti kebaikan yang sangat banyak. Sehingga Al-Kautsar tidak hanya sebatas sebuah sungai yang ada di Al-Jannah (surga), karena kebaikan yang Allah SWT berikan kepada Rasulullah SAW sangat banyak, sebagaimana disebutkan dalam beberapa surat di Al-Qur`an. Di antaranya ialah dengan dipilihnya Rasulullah SAW sebagai seorang nabi dan rasul, bahkan yang terbaik di antara para nabi dan rasul. Juga dengan diturunkannya Al-Qur`an kepada beliau, satu-satunya dari kalangan nabi dan rasul yang diberi izin oleh Allah SWT untuk memberikan syafaat ‘uzhma di padang mahsyar, orang pertama yang Allah beri izin untuk membuka pintu Al-Jannah (surga), diampuninya dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang, dan masih banyak kebaikan yang lainnya yang tidak terhitung. Sehingga itu semua yang dimaksud dengan Al-Kautsar.

Makna yang kedua ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dari sahabat Abdullah bin Abbasradhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata tentang makna Al-Kautsar, “Dia (Al-Kautsar) adalah kebaikan-kebaikan yang telah Allah SWT berikan kepada beliau (Rasulullah SAW)” (Shahih al-Bukhari no. 4966).
Pendapat yang kedua ini dikuatkan oleh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan beliau tegaskan dalam kitab tafsirnya, ”Tafsir ini (tafsir Ibnu Abbas tentang Al-Kautsar) meliputi banyak hal bahkan termasuk sungai yang berada di Al-Jannah (surga) dan yang lainnya, dikarenakan Al-Kautsar itu sebuah kata yang berasal dari kata al-katsrah (sesuatu yang banyak kuantitasnya) sehingga makna Al-Kautsar adalah kebaikan-kebaikan yang banyak. (Tafsir Ibnu Katsir) Wallahu a’lam.

Ayat kedua:

Ada dua ibadah yang diperintahkan dalam ayat ke 2  ini, yaitu ibadah shalat dan kurban. Maka shalatlah untuk Rabb-mu satu-satunya, ikhlaskan niat, bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakannya dan sembelihlah hewan kurbanmu, baik berupa onta, sapi ataupun kambing, semuanya harus diserahkan dan dipersembahkan hanya untuk Allah SWT satu-satunya. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy rahimahullah berkata, “Disebutkan secara khusus dua ibadah dalam ayat ini, dikarenakan keduanya (shalat dan kurban) merupakan ibadah yang paling utama dan paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allah  SWT. Dalam shalat terkandung ketundukan hati dan perbuatan untuk Allah SWT, dan dalam ibadah kurban merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sesuatu yang terbaik dari apa yang dimiliki oleh seorang hamba berupa hewan kurban. (Tafsir as-Sa’diy hal. 936).

Dalam ayat kedua ini terdapat dalil penting yang terkait dengan hukum dan tata cara dalam ibadah kurban bahwa proses pelaksanaan ibadah kurban itu dilakukan setelah shalat Idul Adha, bukan sebelum shalat. Kesimpulan ini dilihat dari ayat yang kedua :
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkurbanlah,”  disebut shalat terlebih dahulu baru kemudian menyembelih hewan kurban. Karena jika ibadah kurban itu dilakukan sebelum shalat maka posisi dia bukan sebagai hewan kurban, dagingnya bukan daging kurban akan tetapi terhitung sebagai daging sedekah biasa. Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW saat salah seorang sahabat yakni Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Idul Adha, Rasulullah SAW bersabda, ”Kambingmu adalah kambing untuk (diambil) dagingnya saja.” (HR. al-Bukhari no.5556 dari al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu). Dalam lafazh lain (no.5560) disebutkan, “Barangsiapa yang menyembelih (sebelum shalat Idul Adha), maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, bukan termasuk hewan qurban sedikit pun.”

Rasulullah SAW juga bersabda dalam khotbah Idul Adha, “Barangsiapa mengerjakan shalat seperti shalat kami dan menyembelih hewan kurban seperti kami, maka telah benar kurbannya. Dan barangsiapa  menyembelih sebelum shalat (Idul Adha) maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain.” (HR. al-Bukhari no. 5563 dan Muslim no. 1553).

Ayat Ketiga:

“Sesungguhnya orang yang membencimu dialah orang yang terputus.”
Ada 2 penafsiran tentang makna dari إِنَّ شَانِئَكَ :
Diriwayatkan  dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa makna dari ayat diatas adalah
1.  “Sesungguhnya musuhmu.”
2. “Sesungguhnya orang yang membencimu. (Rasulullah SAW)”
(Tafsir ath-Thabari hal. 602)

Adapun makna  الْأَبْتَرُ ialah orang yang terputus tidak memiliki keturunan/tidak memiliki generasi penerus atau bisa diartikan tidak adanya kelanjutan dari sisi nasab
Disebutkan oleh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah bahwa salah seorang ahlul kitab yang bernama Ka’ab bin al-Asyraf ketika datang ke kota Mekah dan bertemu dengan kaum Quraisy, lalu mereka mengatakan kepada Ka’ab bin al-Asyraf, “Bagaimana menurutmu wahai Ka’ab tentang orang yang tidak memiliki keturunan lagi, memutus hubungan dengan kaumnya (yaitu Muhammad) dan menganggap dirinya lebih baik dari kami, padahal kami adalah kaum yang senantiasa berhaji, berkhidmat menjaga Ka’bah dan melayani serta memberi minum kepada jamaah haji? Kemudian Ka’ab bin al-Asyraf menyatakan, “Kalian lebih mulia dibandingkan dia (Rasulullah SAW).” Setelah pernyataan tersebut turunlah ayat:
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

artinya, “Sesungguhnya orang yang membencimu dia lah orang yang terputus.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/295). Terputus dalam artian terputus dari setiap kebaikan, amalan, sanjungan. Adapun Rasulullah  SAW menjadi manusia yang paling sempurna dan memiliki kedudukan di sisi seluruh makhluk, berupa tingginya pujian kepadanya, banyaknya pembela dan pengikutnya. (Tafsir as-Sa’di hal. 936)



Rabu, 09 September 2015

surah al-ikhlas ayat 1-4 beserta arti dan pembahasannya

Al Ikhlas 1 – 4


http://omipit.files.wordpress.com/2010/09/ikhlas1-4.gif
Pembahasannya:
“Katakanlah” – Hai Utusan-Ku- “Dia adalah Allah, Maha Esa.” (ayat 1). Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia.
Pengakuan atas Kesatuan, atau Keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan dan nama-Nya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU.
Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak pula ada teman hidup-Nya. Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu. Karena kalau Dia berbilang, terbahagilah kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama kurang berkuasa.
“Allah adalah pergantungan.” (ayat 2). Artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah bergantung. Ada atas kehendak-Nya.
Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.
Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.”
Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”
“Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan.” (ayat 3).
Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seseorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga itu. Tetapi seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mustahil memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus, tidak akan pernah mati-mati. Dahulunya tidak berpemulaan dan akhirnya tidak berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak yang akan melanjutkan atau menyambung kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu, tidak pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah Dia berbapa. Karena kalau dia berbapa, teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah itu pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu beranak dan anak itu ialah Nabi Isa Almasih, yang menurut susunan kepercayaan mereka sama dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir yang tidak berkesudahan di antara sang bapa dengan sang anak, maka bersamaanlah wujud di antara si ayah dengan si anak, sehingga tidak perlu ada yang bernama bapa dan ada pula yang bernama anak. Dan kalau anak itu kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu kekuasaan atau ketuhanan yang tidak perlu, kalau diakui bahwa si bapa kekal dan tidak mati-mati, sedang si anak tiba kemudian.
“Dan tidak ada bagi-Nya yang setara, seorang jua pun.” (ayat 4). Keterangan: Kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapa-Nya mati. Kalau diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama, fikiran sihat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasa-Nya, yakni masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah Mutlak Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada bandingan dan ada tiada tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur, belum bertugas sebab bapanya masih ada!
Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni. Itulah yang dirasakan oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini dinamai pula Surat Al-Ikhlas, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika, dengan berfikir teratur.
Tersebutlah di dalam beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat ini turun: “Shif lanaa rabaka” ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta kepada Nabi (Coba jelaskan kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau loyangkah?).
Menurut Hadis yang dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka’ab, memang ada orang musyrikin meminta kepada Nabi supaya diuraikannya nasab (keturunan atau sejarah) Tuhannya itu. Maka datanglah Surat yang tegas ini tentang Tuhan.