Al Ikhlas 1 – 4

Pembahasannya:
“Katakanlah” – Hai Utusan-Ku- “Dia adalah Allah, Maha Esa.”
(ayat 1). Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa
yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak
ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang
lain dengan Dia.
Pengakuan atas Kesatuan, atau Keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan
dan nama-Nya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai TAUHID. Berarti
menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu
lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sihat
dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU.
Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan
tidak pula ada teman hidup-Nya. Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu.
Karena kalau Dia berbilang, terbahagilah kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang terbagi,
artinya sama-sama kurang berkuasa.
“Allah adalah pergantungan.” (ayat 2). Artinya, bahwa segala
sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu
kepada-Nyalah bergantung. Ada atas kehendak-Nya.
Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan
dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang Dia tidaklah
berlindung kepada sesuatu jua pun.
Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan
menetapkan apa yang Dia kehendaki.”
Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada
cacat-Nya.”
“Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan.” (ayat 3).
Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk
bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seseorang
yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan.
Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan bersambung. Orang yang tidak
beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga itu. Tetapi seseorang yang
hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena
meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mustahil
memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus, tidak akan pernah mati-mati.
Dahulunya tidak berpemulaan dan akhirnya tidak berkesudahan. Dia hidup terus
dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak yang akan melanjutkan atau
menyambung kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu, tidak pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah
Dia berbapa. Karena kalau dia berbapa, teranglah bahwa si anak kemudian lahir
ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah itu pun mati. Si anak menyambung
kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu beranak dan
anak itu ialah Nabi Isa Almasih, yang menurut susunan kepercayaan mereka sama
dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir yang tidak berkesudahan di antara sang
bapa dengan sang anak, maka bersamaanlah wujud di antara si ayah dengan si
anak, sehingga tidak perlu ada yang bernama bapa dan ada pula yang bernama
anak. Dan kalau anak itu kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu kekuasaan
atau ketuhanan yang tidak perlu, kalau diakui bahwa si bapa kekal dan tidak
mati-mati, sedang si anak tiba kemudian.
“Dan tidak ada bagi-Nya yang setara, seorang jua pun.” (ayat 4).
Keterangan: Kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu
tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah itu pada mulanya masih
muda yaitu sebelum bapa-Nya mati. Kalau diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa
ada anak, tetapi kedudukannya sama, fikiran sihat yang mana jua pun akan
mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama kurang kekuasaannya. Kalau ada dua
yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam,
tidak ada fikiran sihat yang akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya
itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama
kurang kuasa-Nya, yakni masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang
sempurna ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam,
itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah Mutlak Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada
separuh seorang, tiada gandingan, tiada bandingan dan ada tiada tandingan. Dan
tidak pula ada tuhan yang nganggur, belum bertugas sebab bapanya masih ada!
Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni. Itulah
yang dirasakan oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia
dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini dinamai pula Surat
Al-Ikhlas, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika, dengan
berfikir teratur.
Tersebutlah di dalam
beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat ini
turun: “Shif lanaa rabaka”
ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta kepada Nabi (Coba jelaskan
kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau
loyangkah?).
Menurut Hadis yang dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka’ab,
memang ada orang musyrikin meminta kepada Nabi supaya diuraikannya nasab
(keturunan atau sejarah) Tuhannya itu. Maka datanglah Surat yang tegas ini
tentang Tuhan.
Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
BalasHapusBorgata Hotel Casino 나주 출장샵 & Spa 포항 출장샵 is a 충청북도 출장안마 high-end, 사천 출장안마 high-end destination on the Las Vegas strip. It's a must have on your trip to Atlantic City for a memorable 광명 출장샵 night out.